Selasa, 26 Juni 2012

LANGGAR RIYADUSHSHALIHIN KEBUN SARI MENJELANG FINISH

Seiring perjalanan waktu, Ramadhan sebentar lagi (insya Allah). Dan kisah tahun kedua pembangunan kembali Langgar Riyadushshalihin Kebun Sari Amuntai akan segera tutup buku. Telah sampai pada tahap finishing, tahap memberi wajah dan warna dari semua kerja keras selama ini dari pak Windi, pak Ansari dkk. Senang sekali rasanya bisa melihat replika Madinah (Nabawi) ada di sini. Kejutan terbesar saat pintu Nabawi ternyata bukan cuma gambar, tapi bisa dikerjakan...
Selaku drafter, bukanlah kata-kata "bagusnya..." yang membahagiakan. Melainkan komentar mendalam... "ini Madinah...!"
 (tampilan luar terkini)


(bukannya tidak percaya tukang, tapi ikut langsung mengerjakan tentu akan jadi kisah yang asik untuk dikenang kami berdua)

(akhirnya...)
(subhanallah, alhamdulillah, wastaghfirullah, mihrab ala Raudhah Nabawi, bisa hadir di sini

(aslinya)


(inilah gambar yang sebelumnya saya tidak percaya bisa terwujud... ternyata...)


(tentu wajar jika saya menangis menyambut kedatangannya
terima kasih pak windi, mas purwo, dan panitia semua)

Cuma satu bagian yang rawan tidak memenuhi target bulan Ramadhan selesai, yuitu menara. Tapi tak masalah lah, tinggal sedikit ornamen lagi... dan ini bukan termasuk rencana awal. Menara saya tambahkan dalam desain karena permintaan (bahkan paksaan) istri saya yang iri dengan desain untuk Langgar lain yang saya buat ada menaranya, sementara di Langgra sendiri tidak. Jadilah Riyadushshalihin sangat berbau Madinah, seolah menenggelamkan konsep 3 Masjid (Makkah, Madinah, dan Palestina)
 (izinkan saya menamainya 'menara Normi')
outlook terdekat dengan rumah saya

Minggu, 09 Oktober 2011

ULIN, ANTARA KEBUTUHAN KONSTRUKSI DAN KEPUNAHAN

ULIN, ANTARA KEBUTUHAN KONSTRUKSI DAN PROSES KEPUNAHAN
(Banjarmasin Post, 8 Okt 2011)


Aminullah
Staf Pengajar Politeknik Salman Al Farisi Rantau

Ulin disebut juga dengan bulian dan kayu besi, atau dalam istilah ilmiah Eusideroxylon zwageri, adalah salah satu kekayaan Kalimantan. Sumberdaya ini telah menjadi bagian budaya yang melekat bagi masyarakatnya sebagai bahan bangunan, alat transportasi, perabot rumah tangga, dan barang olahan kayu lainnya. Ini karena keunggulan yang dimiliki ulin. Bahan ini seakan sudah menjadi pakem teknologi yang akrab dengan pekerja kayu maupun masyarakat umum. Masyarakat enggan beralih ke bahan lain seperti pembuat kapal yang lebih senang memaku kapal ulinnya dengan ulin pula dibandingkan dengan bahan besi yang rentan berkarat.
Kebutuhan pasar yang besar tanpa diikuti budi daya yang memadai, maka ulin kian hari kian langka. Pupulasi ulin saat ini diperkirakan tinggal dua puluh persen dibandingkan dengan kondisi empat puluh tahun lalu. Lalu, berapakah jumlahnya dua puluh tahun lagi?
Sejumlah peraturan daerah dan pusat yang menghimpit perdagangan ulin berupa pembatasan bahkan larangan, ikut melambungkan harganya. Di pasar internasional harga ulin ditaksir mencapai seribu USD perkubik. Sementara di dunia maya kita bisa temui penawaran harga ulin belasan juta rupiah perkubik padahal cuma bekas kayu jembatan. Namun karena berhadapan dengan konsekwensi hukum, usaha kayu ulin seperti harus kucing-kucingan.
Padahal kalau mau jujur, sejumlah kasus hukum yang mengejawantahkan larangan perdagangan ulin seperti berbanding terbalik dengan kenyataan masih keluarnya harga satuan pekerjaan ulin di lingkungan pemerintah. Ulin disayang, ulin dilarang.
Kendala-kendala di atas mendorong timbulnya upaya peralihan penggunaan bahan ulin ke bahan lain seperti beton. Namun demikian, keandalan ulin dalam banyak hal memang sullit ditandingi seperti dalam hal kuatan menahan beban, teknologi pengolahan yang relatif sederhana, konstruksi yang tidak rumit, dan tahan lama. Kita bisa membandingkan ukuran yang diperlukan beton dengan ulin misalnya untuk lantai rumah, tiang, atau jembatan sederhana. Kekuatan ulin bisa mencapai empat kali kekuatan beton sederhana mutu normal dengan ukuran sama.
Terlebih lagi keperluan yang berkaitan dengan sebagian masyarakat kita yang memiliki lingkungan rawa. Pembuatan titian ataupun pembuatan jukung sepertinya aneh jika digantikan bahan lain. Selain itu ulin tidak berurusan dengan perakitan dan sinergi dengan bahan lain sebagaimana beton dengan baja tulangan ataupun pencetakan yang memakan waktu. Ulin juga memiliki nilai tersendiri dalam hal estetika dan arsitektural.
Tetapi dengan berkembangnya model dan konstruksi di masyarakat, ulin memang tidak pas lagi untuk melayani. Seperti halnya ketika rumah sudah mencapai tingkat tiga atau kebutuhan bentang yang lempang tanpa harus ditopang tiang yang rapat, panjang ulin dipasaran yang hanya empat meter menjadi rawan dalam hal sambungan.
Sejumlah jembatan sederhana juga kita dapati telah diganti dengan beton karena sekuat apapun ulin, tetap akan digerogoti panas dan hujan disamping volume lalu lintas yang melewati sebagai beban di atasnya semakin meningkat. Apalagi saat ini pembalakan ulin sudah parah sehingga ulin yang belum cukup umur pun dijarah. Maka jangan heran kala menjumpai ada baloknya yang berbubuk terserang ulat. Ini biasanya terdapat pada dimensi kecil karena diolah bahkan dari batang ulin yang baru berdiameter sepuluh senti.
Ulin juga mengalami kesulitan melayani desain bangunan yang memuat kelengkungan banyak, atau bertekstur amat variatif pada konsep desain minimalis, dua konsep yang sedang beranjak menjadi tren rumah saat ini. Demikian pula bangunan kurva semisal kubah masjid.
Selanjutnya ulin pun tidak seragam kekuatannya (tidak monolit). Seperti kayu yang lain, kekuatan ulin berkurang jika bertemu titik percabangan yang membentuk mata kayu atau biasa disebut buku kayu, atau bagian tengah batang yang biasa disebut hati kayu. Belum lagi ulin tidak seperti beton yang boleh dikata relatif tahan api.
Nilai pekerjaan ulin dibanding beton lebih dari dua kalinya menurut harga yang berlaku pada pekerjaan di lingkungan pemerintah serta beberapa kekhasan konstruksi masyarakat berbudaya rawa yang lazim di Kalimantan, seharusnya disikapi dengan upaya budi daya yang gencar. Formulasi bibit yang unggul, pemasaran yang mudah, penyiapan lahan yang sesuai dengan karakter biologisnya, hingga regulasi bijaksana dalam penebangan dan pengolahan ulin adalah langkah nyata yang dibutuhkan dalam masalah ini.
Kelangkaan ulin akibat hampir tidak adanya upaya penanaman sebenarnya memang dapat dimaklumi karena sejumlah kendalanya. Ulin memerlukan waktu enam bulan hanya untuk pengecambahan bibit saja. Pohon ini juga tumbuh bersama pohon jenis lain sebagai pendamping, seperti meranti. Ulin sulit berkembang di tempat terbuka. Dalam setahun, diameter ulin hanya membesar kurang dari satu sentimeter. Bandingkan dengan meranti yang bisa mencapai dua kali lipatnya.
Tetapi tunggu dulu, bukankah itu semua dalam kondisi normal. Kita tentu wajar bertanya kenapa tidak terdengar terobosan berarti untuk ini. Jika pohon jati memiliki bibit jati super, demikian pula karet dan lain-lainnya yang mudah dicari di pasaran dan dikembangbiakkan di sini, mengapa ulin tidak. Nasib Kasturi dan tumbuh-tumbuhan khas Kalimantan lainnya yang “tidak berkembang” kiranya juga terjadi pada ulin.
Adalah ironi, ketika upaya eksplorasi bahan tambang yang menyerang populasi hutan gencar dilakukan di berbanding terbalik dengan upaya pengembangan komoditas andalan seperti ulin yang menjadi korban. Jika tidak ada dukungan yang besar dan stimulan yang signifikan terhadap upaya riset pengembangan ulin, sangat mungkin ulin tinggal tersisa di taman wisata seperti di Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur.

Kamis, 06 Oktober 2011

TANAH SUCI... KAPAN KAH LAGI



Saat kloter-kloter telah mulai berangkat haji... saya hanya bisa iri. Mudah-mudahan saya dan keluarga juga berkesempatan. Mudah-mudah juga para tetamu Allah itu bisa khusyuk "berbulan madu" di sana, di Rumah Allah dan Masjid Nabi. Ah, kapan lagi saya duduk-duduk seperti dalam gambar ini; memandang kubah hijau yang di bawahnya jasad Nabi...


atau mengitari daerah yang pasti para sahabat dahulu berkerumun di sekiar sini (rumah Nabi dan Raudhah)



Minggu, 11 September 2011

Lebaran Idul Fitri 1432

Lebaran Idul Fitri kali ini lain dari sebelumnya... bukan soal hari raya duluan... tapi zakat fitrah sudah untuk 5 jiwa....

Sabtu, 10 September 2011

Serambi Masjidil Haram untuk Desan Langgar Nurul Halim

Langgar Nurul Halim adalah islamic desain kesekian saya, tetapi yang ke tiga dalam konsep al Haramain. Dengan tuntutan limited cost, saya memasukkan serambi Masjidil Haram sebagai selasarnya. Desain lainnya biasa saja mengingat segala keterbatasannya. namun demikian, melalui project ini, saya meyakini bahwa islamic design adalah sebuah pilihan melegakan untuk didalami. Saya ingin spesialis di sini. Saya harap prospektif hingga saya tidak perlu bergumul di bangunan pemerintahan dengan birokrasinya. Tapi memang upgrade pengetahuan dan keterampilan lebih banyak di sana.
Akhirnya, terima kasih Abah Sauki, Bpk Muhaimin, Bpk H. Iberahim, Bpk Thaib, atas kesempatan ini.


Desain Nabawi, Masjidil Haram, dan Dome of Rock Palestina pada Langgar Riyadushshalihin Kebunsari




Oktober 2010, warga jamaah (Bpk Jamaluddin) meminta untuk desain rehabilitasi Langgar Riyadushshalihin dengan satu tantangan yang menarik; segi 8 sebagai solusi arah kiblat yang mencong di atas tanah yang terbatas.
Dalam keadaan demam madinah-mekah, maka tanpa ragu saya memilih al Haramain sebagai konsepnya, walaupun umrah telah berlalu setengah tahun saat itu (bahkan sampai sekarang tanah kenabian seperti masih di pelupuk mata!!!). 
Masjidil Haram muncul di sisi jendela (4 sisi), dan Masjid Nabawi muncul di 3 gerbang (pintu kanan-kiri-belakang), serta sisi depan (arah kiblat). Dan dalam kejujuran nurani yang lebih mencitai Madinah (mudah2ah bukan maksiat...), untuk interior pilihannya adalah Raudhatul Jannah guna mengenang "malam-malam cinta" yang saya lewatkan di sana, termasuk mihrab Nabi untuk bilik imam. Dan desain kubah meniru Green Dome yang menutupi rumah Nabi serta jasad beliau SAW yang ada di dalamnya guna mengenang alir air mata paling deras yang pernah saya hayati begitu pertama berjumpa dan saat berpisah.

Sementara sisi 8 yang jadi tantangan awal saya sukuri karena ini saya dedikasikan sebagai simbol Palestina (bangunan Dome of Rock, yang banyak dikira sebagai Masjidil Aqsha).
Memang terdapat sejumlah bias dalam pelaksanaannya tetapi saya tetap senang 3 pencitraan di atas insya Allah akan hadir di kampung saya. Walaupun saya tidak memilikinya, sekali lagi saya senang kerinduan saya dapat dilihat sebagian padanya.
Terima kasih Bpk. Jamaluddin atas jalan pertama agar saya berinspirasi dan menemukan "dunia lain" dalam islamic design. Terima kasih Bpk. Wendy atas kesediaan dan kesabarannya melanjutkan langkah tertatih pelaksanaannya. Terima kasih Bpk. Darman (alm) yang menyelesaikan desain konstruksi. Dan terima kasih pada semua yang terlibat.





Di Ambang Haji, Banjarmasin Post, 12 Oktober 2010